Kegalauan Titin dan Muli terhadap nasib murid yang kompetensinya terlewatkan, akhirnya reda seiring kehadiran Kurikulum Merdeka.
(I)
“Mereka bilang, Inilah kita,” jawab Titin Sulistiawati sambil tertawa lebar, saat menjawab pertanyaan Direktur Jenderal PAUD, Dikdas, dan Dikmen, Iwan Syahril, tentang Kurikulum Merdeka. Waktu itu, Senin pagi tanggal 12 Februari 2024, Titin Sulistiawati, Kepala Sekolah SLB Ayah Bunda Bogor, menjadi narasumber pada Podcast Telusur Inspirasi Iwan Syahril di lantai 2 Ruang Perpustakaan Kemendikbud RI. Titin menjelaskan, pada beberapa tahun sebelumnya, dia sering menghadapi kesulitan ketika mengidentifikasi bakat dan minat murid berkebutuhan khusus, dan bingung memahami cara mereka belajar. Kesulitan ini juga dirasakan oleh para guru. Mereka merasa tertekan ketika dihadapkan pada tuntutan mencapai target dalam Kurikulum 2013, dan kuatir jika targetnya tidak terpenuhi. Namun setelah kehadiran Kurikulum Merdeka, kesulitan dan kekuatiran tersebut sirna. Guru-guru menilai Kurikulum Merdeka sesuai dengan kondisi murid-murid SLB. Karena targetnya disesuaikan dengan kemampuan murid, dan mereka merasa tidak lagi dikejar-kejar untuk penuntasan target kurikulum. “Dan itu lebih memudahkan sekolah, guru, dan murid. Mereka bilang, terima kasih buat pemerintah atas kurikulum yang terbaru ini,” ujarnya sembari tersenyum. Titin melihat ada perubahan signifikan di SLB Ayah Bunda, terutama bagi para murid. Sebagai contoh, sebelumnya, saat mengikuti lomba, murid tidak pernah mendapatkan penghargaan. Tapi setelah sekolahnya ikut Program Sekolah Penggerak (PSP) dan menerapkan Kurikulum Merdeka, prestasi para murid meningkat dan kantor SLB Ayah Bunda penuh dengan piala. Hal ini menambah keyakinan para guru bahwa PSP sangat sesuai dengan kondisi di SLB Ayah Bunda. Perubahan juga terlihat seiring penerapan digitalisasi sekolah, karena pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Hasil Asesmen Nasional SLB Ayah Bunda pun meningkat. Di samping itu, SLB Ayahbunda melakukan kerjasama dengan berbagai instansi, termasuk kepolisian. Terdapat dua bentuk kerjasama. Pertama, edukasi tentang aturan lalu lintas kepada para murid, mencakup cara menyeberang dan perilaku berkendara. ”Bahkan ada praktiknya juga, anak dibawa ke jalan,” kata Titin. Kedua, edukasi pencegahan perundungan, yang juga dihadiri guru dan orang tua murid. Materi yang diberikan mencakup langkah-langkah pencegahan perundungan dan tindakan yang seharusnya diambil dalam situasi tersebut. ”Jadi pesertanya bukan hanya murid,” ujarnya. Sebagai kepala sekolah, Titin terus memperkaya dirinya dengan ilmu dan pengetahuan serta memotivasi diri sendiri untuk memberikan teladan yang baik, kepada murid dan guru. Dia juga terus berbagi dan berkolaborasi dengan berbagai elemen agar semuanya dapat bekerja sama. Bagi Titin, perubahan tidak akan terjadi jika hanya diam saja.
(II)
PENGALAMAN menyenangkan terhadap Kurikulum Merdeka tak hanya dirasakan Titin. I Komang Muliantara Kepala SD Negeri 4 Bebetin, Buleleng, Bali, juga memetik buah manfaatnya. ”Itu luar biasanya Kurikulum Merdeka,” ujarnya, yang saat itu duduk di sebelah Titin. Pria yang akrab disapa Muli ini bercerita, sebelum melaksanakan PSP, SD Negeri 4 Bebetin, menggunakan Kurikulum 2013. “Kita kejar itu kan capaian materinya, mata pelajarannya,” ujarnya dengan dialeg Bali. “Kita ibaratkan saat itu (Kurikulum 2013, red) sebagai Tuhan; kita punya program, kita buat alokasi waktunya, dan tanggalnya dalam satu semester. Dan kita sudah mematok; oh semua anak ini harus selesai dengan KI/KD yang segitu. Konsekuensinya, kita akan meninggalkan anak-anak kita yang tidak mempunyai kompetensi saat itu. Salah satu contohnya, kita menemukan siswa di kelas 4 yang belum bisa Calistung, dan kita mengabaikan anak ini, karena kompetensinya tidak pernah kita ikuti,” cerita Muli. “Jadi Kurikulum 2013 itu seperti Tuhan, bisa mendeteksi anak seperti ini, kompetensinya sudah selesai dalam 1 semester. Padahal masih ada proses di sana. Apalagi di Bali itu banyak acara keagamaan dan kita tidak bisa melaksanakan kegiatan karena terbentur acara itu. Sehingga kompetensi murid itu terlewatkan,” tambahnya. Kondisi tersebut, kata Muli, saat ini berubah. Jawabannya ada di pembelajaran berdiferensiasi yang ada di Kurikulum Merdeka. “Sehingga kompetensi semua anak bisa kita akomodir dari sisi proses, konten, hingga produknya,” ujarnya dengan senyum lebar. Sekarang, SD Negeri 4 Bebetin, banyak mengalami perubahan. Dari sisi pembelajaran, para guru lebih fokus pada kompetensi murid tanpa harus dihantui ketuntasan buku pelajaran. Mereka diberikan tugas untuk melihat bakat dan minat murid, sekaligus mendeteksi dan memahami kondisi anak, sehingga proses pembelajarannya menyesuaikan kondisi anak tersebut. Jika ada murid yang tidak bisa baca tulis, maka para guru akan membantu dan membimbing mereka hingga berhasil. ”Sebelumnya, banyak murid yang sangat jenuh akan pembelajaran di sekolah. Anak kelas 1 dan kelas 2 biasanya belajar di kelas hanya 8-9 menit saja, selebihnya bermain dan guling-guling di dalam kelas,” kata Muli sambil tertawa. Tapi setelah transformasi pembelajaran, sikap para murid berubah. Mereka merasa nyaman dan senang selama pembelajaran. Selain itu, tambah Muli, peningkatan kompetensi murid juga sesuai dengan rapor pendidikan. “Bagaimana kita mendeteksi anak ini sebagai dasar mereka paham terkait literasi, numerasi dan karakter mereka,” ujarnya. “Sehingga dalam Kurikulum Merdeka ini banyak yang kita dapatkan sisi positifnya, mulai budaya positif anak-anak, hasil belajar yang meningakat, apalagi kegiatan ko kurikuler bagi kami,” pungkasnya.*