[caption id="attachment_9061" align="aligncenter" width="300"] Bambang Indriyanto[/caption]
Depok (Dikdasmen): Dulu, penilaian Lomba Sekolah Sehat berdasarkan Kinerja Terbaik (Best Performance). Imbasnya, muncul kecenderungan sekolah yang selalu keluar sebagai pemenang adalah satuan pendidikan yang berada di kota-kota besar. Kondisi ini mendiskreditkan sekolah-sekolah yang ada di perdesaan. Mereka telah bersusah payah memenuhi kriteria sebagai sekolah sehat namun selalu kalah ketika dinilai.
Maka, dalam beberapa tahun terakhir, penilaian LSS didasarkan pada dua kategori yaitu Kinerja Terbaik dan Pencapaian Terbaik (Best Achievement). “Kalau performance, tampilan fisiknya sudah kelihatan. Kalau achievement, dilihat upayanya,” kata Bambang Indriyanto, peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat menyampaikan paparan tentang Sistem Penilaian LSS pada Rapat Kerja Usaha Kesehatan Sekolah di Hotel Bumi Wiyata Depok, Jawa Barat, Kamis siang, 18 September 2015.
Dalam mengembangkan dua metodologi itu, tambah Bambang, ia mengaku tidak punya pretensi politik dan manajemen. Ia menilai sekolah sehat bukan hanya tampilan fisik tetapi juga perilaku sehat siswa. “Kita melakukan pembobotan terhadap perilaku anak,” ungkapnya.
Jika sebuah sekolah bersih tapi siswanya buang sampah sembarangan, tambah Bambang, tidak ada maknanya. “Kita tidak hanya melihat tampilan fisik, tetapi perubahan perilaku,” ucapnya. “Sekolah sehat lebih melihat pentingnya perilaku sehat, bukan gedungnya.”
Tiap tahun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar LSS. Tahun ini, terdapat 24 sekolah dari 16 provinsi yang menjadi pemenang LSS (lihat Daftar Pemenang LSS 2015).* (Billy Antoro)