[caption id="attachment_10972" align="aligncenter" width="300"] Tema O2SN IX Tahun 2016 Generasi Sportif, Bangsa Produktif[/caption]
Jakarta (Dikdasmen): Olimpiade Olahraga Siswa nasional (O2SN) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), merupakan laku sadar demi terbentuknya karakter sportif—sebuah sikap yang mau dan mampu mengakui prestasi orang lain ini—di kalangan generasi muda Indonesia, seperti para atlet O2SN. Sportivitas bukan laku pasif, namun aktif. Artinya, kesediaan mengakui prestasi orang lain juga diimbangi dengan semangat meningkatkan kemampuan diri sendiri, sehingga bisa bersaing secara sehat. Sportivitas dipercaya mampu mendorong produktivitas, karena sportivtas menafikan sikap negatif, dan memberi ruang seluas-luasnya bagi sikap positif.
Upaya mendorong sikap sportif untuk kelahiran bangsa produktif itu, disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen), Hamid Muhammad, dalam acara Pembukaan O2SN IX di Hall D Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, Senin kemarin, (25/7).
“O2SN merupkan agenda tahunan Kemendkbud, yang bertujuan untuk membina dan mengembangkan bakat minat dan prestasi siswa dalam bidang olahraga, serta untuk membina karakter siswa yang sportif dan tangguh, serta untuk menguatkan tali kebangsaan di antara anak-anak kita di indonesia. Hal tersebut sesuai dengan tema yang diangkat dalam O2SN tahun ini, yaitu generasi sportif bangsa produktif,” ujar Hamid.
[caption id="attachment_10974" align="alignleft" width="179"] Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen), Hamid Muhammad.[/caption]
Dari pidato Dirjen Dikdasmen tersebut, ada 3 kata kunci yang menarik untuk diperhatikan, yaitu, sportivitas, ketangguhan, dan mempererat tali kebangsaan antaranak bangsa.
Pertama, sportivitas dalam sebuah pertandingan, memiliki makna yang indah karena menjaga sikap atlet dari tindakan curang. Mengenai sportivitas ini, ada sebuah cerita menarik dari lapangan Bulutangkis dengan aktor Karin Schnaase dan Laura Sarosi. Baik Karin maupun Laura mungkin bukan nama yang familiar bagi sebagian peminat Bulutangkis. Namun peristiwa yang melibatkan kedua pemain pada Kejuaraan Bulutangkis Eropa beberapa waktu yang lalu itu, membuat heboh di kalangan penikmat Bulutangkis.
Peristiwa menarik terjadi di tengah pertandingan antara Karin dan Laura. Sepatu Karin robek di game pertama, dan ini membuatnya panik karena ia tidak memiliki sepatu cadangan di tas yang dibawanya. Karin terancam tidak bisa melanjutkan pertandingan. Kejadian ini tentu bak durian runtuh bagi Laura. Peluangnya untuk lolos ke Olimpiade semakin terbuka, jika ia terus melaju ke babak berikutnya. Namun, Laura melakukan aksi yang menyentuh hati banyak penonton yang hadir di Vendespace. Laura membuka isi tasnya dan mengeluarkan sepasang sepatu cadangan miliknya. Ia menghampiri Karin dan menyodorkan sepatunya sambil tersenyum. Uniknya, sepatu Laura memiliki ukuran yang cocok dengan kaki Karin.
Pertandingan pun dilanjutkan. Laura berhasil merebut game pertama dengan skor 21-16. Tapi hasil berbeda terjadi di game berikutnya, Karin memenangkan game kedua dan mengakhiri pertandingan dengan 21-18. Laura kalah! Namun para penonton memberikan standing ovation untuk perbuatan sportif Laura.
Kedua, ketangguhan. Generasi muda seperti para atlet O2SN, harus memiliki sikap tangguh sebagai bekal kehidupan mereka di masa mendatang. Karena tantangan zaman di masa mendatang lebih berat, dan tak jarang perubahan zaman terjadi di luar dugaan. Dalam O2SN, sikap tangguh ini diajarkan, agar tiap kekalahan dan air mata kesedihan yang lahir selama pertandingan, menjadi lecutan bagi para atlet O2SN untuk lebih meningkatkan potensi diri menjadi lebih baik.
Ketiga, ada beragam perbedaan yang mudah ditemukan di antara atlet O2SN. Atlet dari suku Jawa memiliki bahasa dan logat yang berbeda dengan atlet Papua. Demikian juga atlet Sumatera, memiliki bahasa dan logat yang berbeda dengan atlet Bali. Perbedaan juga ada pada budaya mereka, yang memengaruhi sikap dalam kehidupan sehari-hari. Terhadap ragam perbedaan ini, Kemenikbud berupaya untuk mempertemukannya. Bukan untuk menseragamkan, namun lebih pada upaya menciptakan pemahaman antaratlet sehingga lahir sikap saling menghargai, saling menghormati, dan pada akhirnya tercipta tali kebangsaan antaranak bangsa.
Tiga nilai di atas, bila terukir dalam jiwa masing-masing atlet, niscaya bangsa indonesia yang produktif bukan sekedar retorika. Semoga!
M. Adib Minanurokhim